A.
HARTA:
PEMILIKAN DAN PEMANFAATANNYA
1.
Pengertian Harta
Dalam istilah ilmu
fiqih, dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah bahwa harta itu adalah sesuatu yang
digandrungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan untuk digunakan saat
dibutuhkan. Namun harta tersebut tidak akan bernilai kecuali bila dibolehkan
menggunakannya secara syariat. Sedangkan Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal,
40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia
dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi)
seperti; komputer, lamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau
pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pin tempat tinggal.
2.
Unsur-unsur Harta
Menurut
para Fuqaha harta bersedi pada dua
unsur, yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf.
Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta
itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan).manfaat
sebuah rumah yang dipelihara manusia disebut harta, tetapi termasuk milik atau
hak.
Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipangdang harta
oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu
kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.
3.
Kedudukan Harta dan fungsinya
Sikap Islam terhadap
harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap Islam
terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam
pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan
sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka disan
kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan
untuk merealisir sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak
cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat
materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim
dan berlebihan.
Harta yang baik adalah
harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya. Harta
menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu
harta tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karen itu pula
Allah rela memberikan harta itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu
nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. telah memberikan pula beberapa kenikmatan
kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Pandangan Islam
terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT.
menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada
orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan
manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an adalah
sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang
mana pada dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai
penerima yang bertanggung jawab dalam perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik
yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.
Pada al-Qur’an surat
al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan
manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan
kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap
harta adalah kebutuhan yang mendasar.
Berkenaan dengan harta
didalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas
ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta:
a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia
b. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau
keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
c. Penimbunan harta dengan jalan kikir
d. Aktivitas yang merupakan pemborosan
e. Memproduksi, memeperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang
seperti narkotika dan minuman keras.
Kaidah ushul fiqh
menyatakan
الأصل فى العقود والمعاملة الصّحة حتّى يقوم الدليل على التّحريم
“Asal atau pokok dalam masalah transaksi mu’amalah adalah sah, sampai ada
dalil yang membatalakan dan yang mengharamkannya”.
Harta dipelihara
manusia, karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Fungsi harta sangat
banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal jelek :
a. Berfungsi menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang mahdah, sebab untuk ibadah
diperlukan alat-alat yang harus dimiliki demi terjadinya kelancaran ibadah.
b. Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
c. Meneruskan (melangsungkan) kehidupan dari satu periode ke periode
berikutnya.
d. Untuk menyelaraskan/menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
e. Untuk mengembangkan dan menegakan ilmu-ilmu.
f. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
g. Untuk menumbuhkan silaturrahim.
4.
Pembagian Harta
Para ulama fiqh membagi
harta dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian
memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagiannya sebagai berikut:
a. Mal Mutaqawwimin dan Ghoiru Mutaqawwimin
1) Harta Mutaqawwimin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut
syara’. Harta ini ialah semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh
dan penggunaanya. Misalnya kerbau halal dimakan umat Islam, tetapi disembelih
dengan cara dipukul maka daging kerbau tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
2) Harta ghoiru mutaqawwimin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya
menurut syara’. Harta ini kebalikan dari hartamutaqawwimin yakni tidak boleh
diambil manfaatnya.
b. Mal Mitsli dan Mal Qimi
1) Harta Mitsli ialah benda-benda yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya,
dalam artian dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain tanpa ada perbedaan
yang perlu dinilai.
2) Harta Qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuanya karena
tidak dapat berdiri sebagian tempat sebagian yang lainnya tanpa perbedaan.
3) Dengan pekara lain, harta mitsli adalah harat yang jenisnya diperoleh
dipasar (secara persis), dan Qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan
dipasar, bias diperoleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
Jadi harta yang ada imbangannya disebut mitsli dan yang tidak ada imbangannya
disebut qimi.
c. Harta Istihlak dan Harata Isti’mal
1) Harta Istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi
dua yaitu istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara
jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar
maka habislah. Selanjutnya istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis
nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya tetap ada. Misalnya, uang yang
dipake membayar utang.
2) Harta Isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan
materinnya tetap terpelihara. Harta isti’mal dihabis sekali digunakan melainkan
dapat digunakan lagi. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian sepatu, laptop,
hanphone dan lain sebagainya.
d. Harta Manqun dan Harata Ghoiru Manqul
1) Harta manqul yaitu segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari
suatu tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan
dan lain sebagainya, termasuk harta yang dapat dipindahkan.
2) Harta Ghoiru Manqul yaitu sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa
dari tempat satu ketempat yang lain. Seperti kebun, pabrik, sawah, dan lain
sebagainya. Karena tidak dapat dipindahkan. Dalam Hukum Perdata Positif
digunakanlah istilah benda bergerak dan benda tetap.
Selain dari pada apa yang telah diutarakan diatas, masih banyak jenis
harta, namun saya membatasi diri hanya membahas macam harta yang tertera diatas
saja.
B.
TRANSAKSI
DALAM MUAMALAH ISLAM
1.
Asas-asas
Transaksi Ekonomi Islam
Transaksi
ekonomi adalah pejanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Dalam setiap transaksi
ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
a. Setiap
transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’., Pihak-pihak
yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak
boleh saling mengkhianati.
Surah Al-Maidah, 5: 1
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qèù÷rr&
Ïqà)ãèø9$$Î/
4 ôM¯=Ïmé&
Nä3s9
èpyJÍku5
ÉO»yè÷RF{$#
wÎ)
$tB
4n=÷Fã
öNä3øn=tæ
uöxî
Ìj?ÏtèC
Ïø¢Á9$#
öNçFRr&ur
îPããm
3 ¨bÎ)
©!$#
ãNä3øts
$tB
ßÌã
ÇÊÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
b. Syarat-syarat
transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas teteapi penuh tanggung jawab,
tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
c. Setiap
transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
Surah An-Nisa, 4: 29
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4 wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
d. Islam
mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, kecurangan,
dan penyelewengan. Hadis Nabi SAW menyebutkan: “Nabi Muhammad SAW melarang
jual beli yang mengandung unsure penipuan.” (H.R. Muslim)
e.
Adat
kebiasaan atau ‘urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh
digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi.
2.
Penerapan Transaksi i Dalam Islam
a. Jual Beli
1) Pengertian Dasar Hukum dan Hukum Jual Beli
Jual
beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (pihak yang membayar/ membeli barang
yang dijual).
Jual
beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai
dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist. Seperti dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa,
4: 29.
Mengacu
kepada ayat Al-Qur’an dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh).
Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah,
haram, dan makruh.
b. Rukun
dan Syarat Jual Beli
Rukun
dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus
dipenuhi agar jual belinya dihukumi sah menurut syara’.
·
Syarat
bagi orang yang melaksanakan akad jual beli :
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak
mengunakan hartanya.
·
Sigat
atau ucapan ijab dan Kabul
Ulama
fikih sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual
dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan Kabul (dari pihak
pembeli.
·
Syarat
barang yang diperjualbelikan :
1) Barang
yang diperjualbelikan sesuatu yang halal. Barang haram tidak sah
diperjualbelikan.
2) Barang
itu ada manfaatnya.
3) Barang
itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain.
4) Barang
itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya.
5) Barang
itu hendaklah di ketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuk dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
·
Syarat
bagi nilai tukar barang yang dijual :
1) Harga
jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai
tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun
secara hukum, misalnya menggunakan cek atau kartu kredit.
3) Apabila
jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah, maka nilai tukarnya
tidak boleh dengan barang haram.
c. Khiyar
Khiyar
ialah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan jual-belinya atau
membatalkan karena adanya suatu hal. Hukum Islam membolehkan hak khiyar agar
tidak terjadi penyesalan bagi penjual maupun pembeli.
Adapun
khiyar itu bermacam-macam, yaitu :
1) Khiyar majelis ialah khiyar
yang berlangsung selama penjual dan pembeli masih berada di tempat jual beli.
2) Khiyar syarat ialah khiyar yang dijadikan sebagai
syarat pada waktu akad jual beli. Khiyar syarat dibolehkan dengan
ketentuan tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam semenjak akad.
3) Khiyar ‘aib (khiyar cacat) maksudnya pembeli mempunyai hak
pilih, untuk mengurungkan akad jual belinya karena terdapat cacat pada barang
yang dibelinya.
C.
KERJA
SAMA DALAM MUAMALAH ISLAM
Kerja sama dalam Islam disebut juga Syirkah, maka dalam Islam
Syirka sudah diatur dengan sebaik-baiknya. Mulai dari hukum yang ditentukan
oleh Allah, Rasulullah dan juga para Ulama. Ada beberapa hal yang berkaitan
dengan Syirkah, Yaitu:
1.
Pembagian
Syirkah
Syirkah tidak terpokus pada satu pembahasan saja. Syirkah juga
memiliki berbagai pembagian. Dalam poin ini pemakalah mencoba membahas tentang
pembagian syirkah. Syirkah yang kita maksud ini terbagi menjadi dua bagian
yaitu :
a.
Syirkah
Amlak
Syirkah amlak
ini bersifat jabr, sedangkan yang dimaksud dengan syirkah amlak ini adalah dua
orang yang di hibahkan atau di wariskan sesutu,lalu mereka berdua menerima,maka
barang yang di hibahkan dan di wasiatkan itu menjadi milik berdua.
Dapat kita
simpulkan bahwa syirkah amlak ini adalah bentuk perkongsian dalam memiliki
sesuatu barang. Ada dua orang atau lebih yang memiliki sebuah harta yang sah
menjadi milik mereka berdua.
b.
Syirkah
Uquud
Seperti halnya
dalam syirkah amlak, syirkah uqud juga merupakan bentuk perkongsian atau
kerjasama. Namun dalam syirkah amlak bersifat kepemilikan, sedangkan dalam
syirkah uqud adalah dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam
suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan.
Dalam syirkah
uqud ini dapat kita fahami bahwa kegiatannya beroprasi dibidang usaha yang
menghasilkan keuntunga.
Bukan hanya
sampai disitu saja, syirkah uqud ini juga memiliki beberapa jenis. Diantaranya
adalah sebagai berikut :
Jenis Jenis Syirkah Uquud :
1)
Syirkah
Inan
Adalah persekutuan dalam pengelolaan harta oleh dua orang mereka
memperdagangkan harta tersebut dengan keuntungan di bagi dua.
2)
Syirkah
muwadhah
Adalah bergabungnya dua orang atau lebih untuk melakukan kerjasama
dalam suatu hunian . Dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a)
jumlah
modal sama
b)
memeliki
kesamaan dalam bertindak
c)
memiliki
kesamaan agama
d)
masing-masing
menjamin penjamin atas lainya dalam jual beli.
Jika semua hal
tersebut terdapat kesamaan maka syirkah dinyatakan sah dan masing-masing menjadi
wakil perkongsian dan sebagai penjamin.
Untuk syirkah
jenis ini Mazhab Hanafi dan Hambali membolehkan, sementara Madzhab Syafi`I
tidak membolehkan sebagaimana perkataanya “kalaulah Syirkah Mufawdhah ini tidak
di katakan batal, maka tidak ada yang bathil aku ketahui di dunia ini.
Menurut imam
Malik semua Syirkah Muwafadhah adalah tiap-tiap kongsi atau sekutu
menegosiasikan dengan temanya atas semua tindakanya,baik pada saat kehadiran
kongsi,aupun tidak,sehingga semua kebijaksanaan ada di tangan masiang–masing .
3)
Syirkah
Wujuh
Menurut Madzhab
Hanafi “bersyarikatnya dua orang atau lebih tanpa modal bagi keduanya untuk
sama-sama membeli dengan nama baik mereka”.
Mazhab Maliki
“bersyarikatnya dua orang atau lebih tanpa modal harta dan karya”. Ia adalah
syarikatnya berdasarkan tanggung jawab moril yang mana jika mereka membeli
sesuatu,maka berada pada tanggungan mereka berdua dan jika mereka menjualnya
mereka saling berbagi keuntungannya.
Mazhab Syafi`I bersyaratnya dua
orang yang memiliki reputasi di masyarakat karena kebaikan keduanya dalam
berbisnis dengan mereka untuk masing masing mereka membeli dengan jatuh tempo
dan barang yang terbeli milik keduanya. Jika mereka menjualanya maka kelebihan
harga jual di bagi antara mereka .
Mazhab Hambali
bersyarikatnya dua orang dalam barang yang mereka beli dengan nama baik
(reputasi) mereka dan kepercayaan. Para pedagang terhadap mereka tanpa memiliki
modal finansial dengan kesepakatan apa yang mereka beli,kepemilikannya di bagi
antara mereka secara tengahan,pertigaan,perempatan dan mereka menjualnya maka
hasil yang Allah SWT berikan di bagi antara mereka.
4)
Syirkah
Abdan
Mazhab be5rsyarikatnya dua
oranguntuk menerima order pekertjaan dan hasilnya adalah di bagi antara mereka
berdua.contoh tukang jahit dan tukang celup.
Mazhab Maliki
bersyarikatnya dua tukang atau lebih untuk bekerjasama sesuai pekerjaan
masing-masing dengan syarat pejkerjaan tersebut adalah satu. Contoh tukang bei.
Mazhab Syafii
bersyarikatnya dua orang atau lebih masing-masing bekerja dengan keterampilannya
secara sama atau berbeda,baik dengan kesatuan pekerjaan.
Mazhab Hambali
bersyarikatnya dua orang atau lebih dalam apa yang mereka hasilkan dengan
ketrampilan tangan mereka,seperti para tukang.
Tukang yang
bersyarikat dalam apa yang mereka hasilkan dari barang halal seperti berburu.
5)
Al
Mudharabah
Mazhab Hanaf i: akad atas sesuatu
syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan
pekerjaann(usaha) dari pihak yang lain.
Mazhab Maliki
sesuatu pemberian mandat untuk berdagang dengan mata uang tunai yang di
curahkan. kepada pengelolanya dengan mendapat sebagian dari keuntungan, jika di
ketahui jumlah dan keuntungan.
Mazhab Syafii
suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya
dan keuntungannya di bagi antara mereka berdua .
Mazhab Hambali
penyerahan suatu modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada
orang yang mengusahaknnya dengan mendapat bagian tertentu dari keuntungannya.
2.
Mengakhiri
Syirkah
Setiap yang
dimulai itu pasti ada akhirnya. Begitu juga dengan syirkah. Syirkah akan
berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
a.
Salah
satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lainya.
b.
Karena
syirkah terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak.
c.
Salah
satu pihak kehilangan kecakapan untuk .....(keahlian mengelola harta) baik
karena gila maupun karena alasan lainya.
d.
Salah
satu pihak meninggal dunia tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua
orang,yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota
yang masih hidup,apabila ahli warisnya menghendaki turut serta maka dilakukan
perjanjian baru.
e.
Salah
satu pihak boros dalam penggunaan biaya atau modal yang terjadi pada waktu
perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab lainya.
f.
Salah
satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi harta yang menjadi saham
syirkah kecuali mazhab-mazhab Hanafi berpendapat keadaan bangkrut tidak
membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan.
g.
Modal
para anggota syirkah lengkap atau hilang sebelum adanya pencampuran harta
hingga tidak dapat di pisah-pisahkan maka yang menanggung resiko adalah para
pemiliknya sendiri,apabila harta lenyap setelah pencampuran maka menjadi resiko
bersama .
DAFTAR RUJUKAN
Abubakar.
Taqiyuddin, 2007, Kifayatul Akhyar, Surabaya: CV Bina Ilmu, cet:7
Ad-Dimasyqi.
Muhammad Bin Abdurrohman, 2010, Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’immah,
Bandung: Hasyim Press.
Ad-Dimyati.
Sayyid Abu Bakr, Tanpa Tahun, I’anah At’tholibin, Haromain.
Al-Banjari.
Muhammad Arsyad, 2008, Sabilal Muhtadin, Syrabaya: PT Bina Ilmu
Al-Malibari.
Zainuddin Bin Abdul Aziz, 1980, Fathul Mu’in, Kudus: Menara Kudus
Al-Jawi.
Muhammad Nawawi, 2005, Nihayatuzzain Fi Nihayati Al-Mubtadi’in,
Haromain.
Jalaluddin,
2009, Fikih Remaja, Jakarta: Kalam Mulia
Rasjid.
Sulaiman, 2011, Fiqh Islam, Bandung: Algesindo, cet:52
Rifa’i. Moh,
1938, Fiqh Islam, Semarang: Toha Putra.
0 komentar:
Posting Komentar